SOSIOLOGI PEMBANGUNAN "Data Kemiskinan"

SOSIOLOGI PEMBANGUNAN "Data Kemiskinan"


Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang diketuarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.
Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kuatitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9.
persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara (Kompas, 2004).
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang tayak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoteh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (b) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjatankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat­-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan
kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).
Dan pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama            kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; .(5) kerentanan dan keterpurukz.n dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuai yang terbatas; (8) dan sebagainya.
Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang biasa
perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang biasa kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
Selama tiga dekade, upaya penanggutangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan inisiatif
masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri.
Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan anatisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu
kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat - ­alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara  berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator – indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.

Kemisiknan Desa
Desa hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada tahun 1998 dari 49,5 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60%-nya (29,7 juta jiwa) tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1999, prosentase angka kemiskinan mengalami penurunan dari 49,5 juta jiwa menjadi 37,5 juta jiwa. Prosentase kemiskinan di daerah perkotaan mengalami penurunan, tetapi prosentase kemiskinan di daerah pedesaan justru mengalami peningkatan dari 60% tahun 1998 menjadi 67% tahun 1999 sebesar 25,1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12,4 juta jiwa (Data BAPPENAS, 2004). Data tersebut diperkuat taporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Dengan demikian, desa ingga
sekarang tetap menjadi kantong terbesar dari pusat kemiskinan. Tabel berikut menggambarkan prosentase perubahan dan jumlah penduduk miskin antara kota dengan desa dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1999.
Tabel
Prosentase dan perkembangan jumlah penduduk miskin desa dan kota 1976-1999
Tahun
Desa
I Kota I

Penduduk miskin (juta jiwa)
(%)
Penduduk miskin (juta
jiwa)
(%)
1976
44,2
40,4
10,0
38,8
1978
38,9
33,4
8,3
30,8
1980
32,8
28,4
9,5
29,0
1981
31,3
26,5
9,3
28,1
1984
25,7
21,2
9,3
23,1
1987
20,3
16,4
9,7
20,1
1990
17,8
14,3
9,4
16,8
1993
17,2
13,8
8,7
13,4
1996
15,3
12,3
7,2
9,7
1998
31,9
25,7
17,6
21,9
1999
25,1
20,2
12,4
15,1

Sumber; Badan Pusat Statistik, Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi Sosial Ekonomi1996-1999.

Hasil pendataan BPS menunjukkan perkembangan garis kemiskinan dan jumlah penduduk miskin. Tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 44,2 juta jiwa dan sampai dengan tahun 1999 menjadi 25,1 juta jiwa. Sejak krisis ekonomi 1998, jumlah kemiskinan di daerah pedesaan mengalami peningkatan dengan tingkat kedalamannya mencapai 5,005 tahun 1998 dari 3,529 pada tahun 1996 dan di tahun 1999 menjadi 3,876 Indeks keparahan kemiskinan paling tinggi terjadi di desa.
Menurut BPS, kantong penyebab kemiskinan desa, umumnya bersumber dari sektor pertanian yang disebabkan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian. Kepemilikan lahan pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3,8% dari 18,3 juta ha. Di sisi lain, kesenjangan di sektor pertanian juga disebabkan ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yang terbatas juga menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian di pedesaan melempem. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8% dari seluruh kredit perbankan, dan hanya naik 2% di tahun 2000 menjadi 19%.
Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mempengaruhi indeks kemiskinan di daerah pedesaan. Data yang disajikan BPS mempertihatkan bahwa 72,01% dari rumahtangga miskin di pedesaan dipimpin kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipimpin kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Ciri rumahtangga miskin yang erat kaitanya dengan tingkat pendidikan adalah sumber penghasilan. Pada tahun 1996, penghasilan utama dari 63,0% rumah tangga miskin bersumber dari pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan. Dari sekitar 66.000 jumlah desa di Indonesia, tahun 1994 jumlah desa tertinggal mencapai 22.094 desa dan yang berada di daerah pedesaan sekitar 20.951 desa. Pada tahun 1999 jumlah desa tertinggal mencapai 16.566 dari sekitar 66.000 desa yang ada.
Data berikut menggambarkan bagaimana kemiskinan mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat pedesaan. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2 persen. Angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 10,12 persen. Pada saat yang sama Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen, dan APS penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 50,97 persen. Tantangan tersebut menjadi semakin berat dengan adanya disparitas tingkat pendidikan antarkelompok masyarakat yang masih cukup tinggi
seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah (Bappenas, 2004).
Data-data mengenai penyebab kemiskinan desa seperti itu, bisa dikatakan sudah sangat lengkap dan bahkan memudahkan kita merumuskan indikator kemiskinan desa dan strategi penanggulanganya. Berdasarkan data di atas, penyebab utama kemiskinan desa adalah; (1) pengaruh faktor pendidikan yang rendah: (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian; (3) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian; (4) alokasi anggaran kredit yang terbatas; (4) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar; (5) kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota); (b) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisionat; (7) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal; (8) budaya menabung yang belum berkembang di kalangan masyarakat desa; (9) tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang di daerah pedesaan; (10) tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat desa; (11) rendahnya jaminan kesehatan.

Masyarakat desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini terpenuhi seperti; (1) kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2) memiliki lahan dan modal pertanian yang terbatas; (3) tidak adanya kesempatan menikmati investasi di sektor pertanian; (4) kurangnya kesempatan memperoleh kredit usaha; (4) tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar (pangan, papan, perumahan); (5) berurbanisasi ke kota; (b) menggunakan cara-cara pertanian tradisional; (7) kurangnya produktivitas usaha; (8) tidak adanya tabungan; (9) kesehatan yang kurang terjamin; (10) tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial; (11) terjadinya korupsi, kotusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa; (12) tidak memiliki akses untuk memperoleh air bersih; (13) tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.

Review Kebijakan Dan Program
Selama ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan, didesain secara sentralistik oleh pemerintah pusat yang diwakili BAPPENAS. BAPPENAS merancang program penangulangan kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan mmultinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran yang memadai, pemerintah pusat menjalankan kebijakan sentratistik dengan program-program yang bersifat karitatif. Sejak tahun 1970-an di bawah kebijakan economic growth sampai dengan sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari seturuh proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan.
Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah pusat menjalankan program -programnya dalam bentuk: (1) menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya; (2) mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara gratis kepada penduduk miskin; (3) mengusahakan pelayanan kesehatan yang memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan obat-obatan melalui PUSKESMAS; (4) mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan dasar
dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; (5) menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin; (b) memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; (7) mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; (8) menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya; dan sebagainya.
Berbagai program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut, lebih banyak menuai kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Program Kredit Usaha Tani (KUT) misalnya, merupakan salah satu di antara serangkaian program pemerintah yang terbaru, yang menuai kegagatan. Program ini menempatkan Bank, Koprasi, LSM dan kelompok tani hanya sebagai mesin penyalur kredit, sedangkan tanggungjawab kredit terletak di tangan Departemen Koprasi. Pada tahun 1998, ptatfon KUT mencapai 8,4 triliun rupiah naik 13 kali lipat dari sebelumnya. Para petani menyebut program ini sebagai "kesalahan bertingkat enam" karena; (1) petaksanaan KUT tidak benar-benar memberdayakan petani; (2) mesin penyalur KUT (LSM, Bank, Koprasi), ditunjuk tidak diseleksi secara ketat;
(3) Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dibuat secara serampangan, banyak fiktifnya; (4) kredit diberikan kepada siapa saja termasuk nonpetani, sehingga kurang tepat sasaran; (5) tidak ada pengawasan datam penyaluran, penerimaan dan penggunaan kredit; (b) dana penyaturan banyak bocornya, mulai dari Departemen Koprasi, hingga ke KUD. Akibatnya per September 2000, tunggakan KUT mencapai 6,169 triliun rupiah atau 73,69% dari realisasi kredit.
Sejak tahun 2000, program KUT yang dianggap gagal total diganti pemerintah dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi lagi-lagi mengatami kegagatan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit. Dari ptatfun sebesar 2,3 triliun rupiah, sampai Maret 2001 baru terrealisasi 3,85 miliar rupiah atau 1,57%. Akibatnya, terjadi ketangkaan kredit usaha tani di desa. Di samping program KUT dan KKP juga ada Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan modal dan pengadaan infrastruktur. Inti dari program ini adatah perencanaan yang melibatkan masyarakat, laki-laki dan perempuan, termasuk masyarakat miskin. Program ini dirancang melalui mekanisme musyawarah mulai dari tingkat dusun hingga ke tingkat kecamatan. Pelaksanaan program didampingi oleh seorang fasilitator kecamatan, dua orang fasilitator desa, satu laki-laki, satu perempuan di tiap desa, juga dibantu lembaga pengelola yaitu Unit Pengelola Keuangan (UPK) di kecamatan yang melibatkan LMD. Program ini di beberapa daerah mengalami kegagalan, karena tidak adanya perencanaan yang matang dan juga kiranya transparansi penggunaan dan alokasi anggaran kepada masyarakat desa.
Kisah kegagalan program yang dirancang dan didanai oleh pemerintah dan Bank Dunia, juga terjadi dalam Program Padat Karya Desa-Pengembangan Wilayah Terpadu (PKD-PWT) di NTT , Sulawesi Selatan, NTB dan Sulawesi Utara serta program PDMDEK di Jawa Barat. Program PKD-PWT membagikan uang bantuan sebesar 50 juta rupiah kepada setiap desa dan langsung disalurkan ke rekening Tim Pelaksana Desa (TPD). Jumlah desa yang dibantu dengan program ini mencapai 1.957 desa. Program ini mengalami kegagalan, karena proses perencanaan, pelaksanaan dan penyaluran bantuan kepada desa, sangat tergantung kepada TPD. Sementara PDMDEK di Jawa Barat, mengalami kegagalan karena dana bergulir yang diberikan kepada masing-masing desa sebanyak 14 juta rupiah per desa, digunakan masyarakat untuk tujuan konsumtif.
Masalah kemiskinan di Indonesia saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di witayah perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar ketayakan, dan mata pencahanan yang. tidak menentu. Disadari bahwa kemiskinan adalah persoalan struktural dan multi dimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi, aset, dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi kemiskinan muncul dalam berbagai bentuknya, seperti antara lain :
Ø  Dimensi politik, sering muncut dalam bentuk tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi;
Ø  Dimensi sosial sering muncul dalam bentuk tidak terintegrasikannya warga miskin ke datam institusi sosial yang ada,terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak kualitas manusia serta etos kerja mereka, dan pudarnya kapitat sosial;
Ø  Dimensi Lingkungan sering muncul dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman;
Ø  Dimensi ekonomi muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak; dan
Ø  Dimensi aset ini ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumber daya manusia (human capita), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan dan permukiman, dan sebagainya.
Karakteristik kemiskinan seperti tersebut di atas dan krisis ekonomi yang terjadi telah menyadarkan semua pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah pengokohan kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun organisasi masyarakat warga yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan
aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan permukiman.
Model tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk penyelesaian persoalan kemiskinan yang bersifat multi dimensional dan struktural, khususnya yang terkait dengan dimensi-dimensi politik, sosial, dan ekonpmi, serta dalam jangka panjang mampu menyediakan aset yang tebih baik bagi masyarakat miskin dalam meningkatkan pendapatannya, meningkatkan kualitas perumahan dan permukiman meraka maupun menyuarakan aspirasinya dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut, maka dilakukan proses pemberdayaan masyarakat, yakni dengan kegiatan pendampingan intensif di tiap kelurahan sasaran.
Penguatan kelembagaan masyarakat yang dimaksud terutama juga dititikberatkan pada upaya penguatan perannya sebagai motor penggerak dalam `melembagakan' dan 'membudayakan kembali nilai-nilai kemanusiaan serta kemasyarakatan (nilai-nilai dan prinsip-prinsip di P2KP), sebagai nilai­nilai utama yang melandasi aktivitas penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat setempat. Melalui kelembagaan masyarakat tersebut diharapkan tidak ada lagi kelompok masyarakat yang masih terjebak pada lingkaran kemiskinan, yang pada gilirannya antara lain diharapkan juga dapat tercipta lingkungan kota dengan perumahan yang lebih layak huni di dalam permukiman yang tebih responsif,
dan dengan sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan proyek pemerintah yang secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat don pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah don kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun "gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan don pembongunan berkelanjutan", yang bertumpu pada nilai-nilai luhur don prinsip-prinsip universal. [Dikutip dari : Buku Pedoman Umum P2KP, Edisi Revisi September 2004]
kepada kelembagaan masyarakat tersebut yang dibangun oleh dan untuk masyarakat, selanjutnya dipercaya mengelola dana abadi P2KP secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Dana tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membiayai kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan, yang diputuskan oleh masyarakat sendiri melalui rembug warga, baik dalam bentuk pinjaman bergulir maupun dana waqaf bagi stimulan atas keswadayaan masyarakat untuk kegiatan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, misatnya perbaikan prasarana serta sarana dasar perumahan dan permukiman.
Melalui pendekatan kelembagaan masyarakat dan penyediaan dana bantuan langsung ke masyarakat kelurahan sasaran, P2KP cukup mampu mendorong dan memperkuat partisipasi serta kepedulian masyarakat setempat secara terorganisasi dalam penanggulangan kemiskinan. Artinya, Program penanggulangan kemiskinan berpotensial sebagai "gerakan masyarakat", yakni; dari, oleh dan untuk masyarakat.

TIGA KECENDERUNGAN
Berdasarkan studi terhadap 160 negara, Estes (1998) mengklasifikasikan potret pembangunan sosial kedalam tiga kategori: Negara Maju (World Social Development Leaders), Negara Berkembang Menengah (Middle Performing Countries), dan Negara Berkembang Terbetakang (Socially Least Developing Countries).

KARAKTERISTIK kEMBANGUNAN SOSIAL
Terdapat 33 negara yang masuk kategori Negara Maju. Sebanyak 26 negara berada di kawasan Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Inggris,dst.) dan 6 diantaranya masuk bagian Eropa Timur dan Tengah (Bulgaria, Hongaria, Polandia, Slovenia, Republik Slovak dan Czechnya). Dua negara, Estonia dan Ukraina, merupakan negara yang baru merdeka dari bekas Uni Sovyet. Mayoritas negara-negara ini memiliki sejarah demokrasi yang kukuh dan sistem ekonomi terbuka. Kondisi ekonominya sangat baik dan stabil. Rata-rata GDP mencapai $18.700 dengan inflasi yang relatif rendah (3,1%). Tingkat tabungan dan investasi tinggi, sedangkan utang luar negerinya sangat rendah.
Sebagian besar Negara Maju adalah negara kecil dengan penduduk kurang dari 25 juta dengan tingkat pertumbuhan penduduk 0,4% per tahun. Tingkat kematian bayi di negara-negara ini sangat rendah, hanya 8 orang per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan usia harapan hidup mencapai 79 tahun dengan ketergantungan anak hanya 20%. Sebagian besar penduduknya (98%) dapat membaca dan melanjutkan pendidikan tinggi. Satu faktor utama yang menyebabkan majunya pembangunan sosial di negara – negara ini adalah adanya jaminan sosial universal yang melindungi setiap penduduknya dari resiko kehilangan pendapatan, seperti kecelakaan kerja, sakit, cacat, masa tua, hamil, dan pengangguran. Sebesar 46% dari GNP-Nya dikeluarkan untuk membiayai berbagai pelayanan sosial dan kesehatan (OECD, 1996).
Negara-negara yang masuk kategori Negara Berkembang Menengah menyebar diseluruh wilayah geografis: Asia (36 negara), Amerika Latin (22), Afrika (10), dan Oceania (1). Sebagian besar negara-negara ini telah memiliki apa yang disebut "social ingredients" yang diperlukan untuk mencapai kondisi sosial dan ekonomi maju, seperti stabititas politik, dinamika ekonomi, akses ke sumber daya atam (khususnya energi), kualitas kesehatan, pendidikan dan sistem jaminan sosial. GNP per kapita di Negara Berkembang Menengah juga retatif tinggi, sekitar US$4910 dengan pertumbuhan 2,3% per tahun dan laju inflasi 7% per tahun. Tingkat pengangguran relatif rendah, sekitar 13,1% dari jumlah angkatan kerja. Namun demikian, beberapa negara masih memitiki kondisi sosial ekonomi yang rentan, seperti pemerintahan korup, jumlah dan pertumbuhan penduduk tinggi, tingginya pengangguran dan meluasnya kemiskinan.
Negara yang termasuk kategori Negara Berkembang Terbelakang berjumlah 38. Sebagian besar berada di Afrika (29 negara), 7 negara di Asia,1 negara di Amerika, dan 1 negara di Pasifik Selatan. 7erbelakangnya pembangunan sosial di negara ini terlihat dari rendahnya kualitas hidup, seperti rendahnya usia harapan hidup (51 tahun), tingginya kematian bayi (11011000) dan anak (17711000). Tingginya kematian bayi dan anak merupakan yang tertinggi di dunia yang diakibatkan oleh infeksi dan penyakit menular.
Dua masalah serius yang menyebabkan rendahnya pembangunan sosial di negara-negara berkembang dan terbelakang adalah tekanan penduduk dan kemiskinan. Tingkat pertumbuhan penduduk dunia tahun 1995 mencapai 1,7%. Dengan tingkat pertumbuhan itu, jumlah penduduk dunia akan mencapai 6,1 miliar di tahun 2000, 7 miliar di tahun 2010, dan 8,2 mitiar pada tahun 2025. Ironisnya, 80% dari pertumbuhan penduduk dunia sejak tahun 1960 terkonsentrasi di Asia, Afrika dan Amerika Latin, dan 95% dari peningkatan ini terkonsentrasi di negara-negara miskin di wilayah tersebut.
Jumlah dan pertumbuhan penduduk di Negara Berkembang Terbelakang sangat tinggi, terutama disebabkan oleh rendahnya penggunaan alat KB dan tingginya migrasi internal. Yang penting dicatat, migrasi penduduk di negara-negara ini tidak hanya dipengaruhi oleh motive ekonomi, melainkan juga oleh perang, konflik sipil dan ketidakstabilan politik. Konsekuensi sosial dari tingginya migrasi ini adalah (a) penelantaran anak, lanjut usia, dan kelompok tidak produktif di daerah pedesaan, (b) melemahnya, atau bahkan hitangnya, nilai-nilai tradisional dan keeratan keluarga, (c) memudarnya budaya dan praktek pertanian, (d) meluasnya kemiskinan, kekurangan gizi, dan kematian dini bagi orang yang tidak dapat bertahan hidup di kota besar yang padat potusi dan penduduk. Hingga had ini, belum ada satu negarapun yang mampu mengatasi problema migrasi ini dengan efektif.
Kata-rata GDP di negara-negara berkembang terbelakang ini sekitar US$950. Pertumbuhan ekonominya juga sangat rendah, hanya sekitar 3% dengan inflasi tinggi, mencapai 37%. Sarana komunikasi dan transportasi sangat terbatas, serta daya saing di pasar internasional juga sangat terbatas. Tabungan pemerintah dan sektor swasta sangat rendah, sementara utang luar negerinya sangat tinggi. Pemerintahan di sebagian besar negara ini sangat sentralistik. Roda ekonomi sangat tergantung pada gabungan antara pinjaman luar negeri, bantuan negara donor, dan investasi swasta dari luar negeri. Tingkat pengangguran di Negara Berkembang Terbelakang juga sangat tinggi. Meski
secara resmi tercatat 20%, kenyataannya bisa lebih dari itu. Pengangguran terutama dialami oleh wanita, laki-laki berusia tebih ari 45 tahun, para penyandang cacat dan buta hurup.
Pengeluaran negara untuk program sosial sangat minimal. Sebagian besar negara bahkan tidak menyediakan asuransi dan jaminan sosial untuk pengangguran, sakit, hamil, kematian, dan cacat. Ironisnya pengeluaran negara untuk Hankam di Negara – negara ini mencapai 4,6% dari GNP-Nya yang berarti 50% lebih tinggi dari pada di Negara Berkembang Menengah.

Kecenderungan
Menurut studi ini, ada tiga kecenderungan yang perlu di catat. Pertama, negara-negara yang masuk kategori Negara Maju berpusat di tiga wilayah, yaitu Australia-Selandia Baru dengan skor ISP rata-rata sebesar 84,5, Eropa (82,8) dan Amerika Utara (80,4). Ironisnya, negara-negara ini juga mengalami penurunan ISP cukup drastis dalam periode 1990-95. Amerika Utara mengalami penurunan sebesar 14%, Eropa 9%, dan Australia -Selandia Baru 9%. Penurunan ini disebabkan oleh kesulitan ekonomi yang melanda wilayah tersebut yang memuncak di tahun 1990 dan berdampak terus hingga 1995.
Kedua, secara individu kategori Negara Maju didominasi oleh negara yang menerapkan sistem Negara Kesejahteraan (welfare state). Denmark meduduki peringkat 1 dengan skor ISP mencapai 98,4, diikuti oleh Norwegia (95,6), Austria (93,2), Swedia (93,1), dan Finlandia (90,8). Di negara-negara ini 40% dari anggaran belanja negaranya dikeluarkan untuk pembangunan sosial.
Ketiga, mayoritas negara-negara yang berkategori Negara Berkembang Menengah terletak di kawasan Amerika Latin dengan skor ISP rata-rata 53,1 dan Asia (41,2). Sedangkan kategori Negara Berkembang Terbetakang terkonsentrasi di wilayah Afrika (20,1). Pengetuaran negara untuk pembangunan sosial di negara-negara ini tidak lebih dari 10%, dan umumnya lebih kecil daripada anggaran untuk Hankam.

Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggutangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya tebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbutkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabita dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-­program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada Indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keseragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sanga berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasitkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam­tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakiti keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.

RINGKASAN
Beraneka ragam teori telah berupaya mencari penjelasan mengapa terjadi proses pemiskinan. Secara garis besar, kemiskinan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiah (Nasution, 1996). Kemiskinan struktural sering disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty). Baik langsung maupun tidak langsung kemiskinan kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup masalah aturan permainan yang diterapkan. Sedangkan kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Pada kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lemah/terbatas, peluang produksi relatif kecil atau tingkat efisiensi produksinya relatif rendah.
Beranjak dari kedua tipe kemiskinan itu, berbagai teori telah dikembangkan dalam upaya untuk memahami aspek-aspek yang menentukan terjadinya kemiskinan secara lebih mendalam. Keanekaragaman teori yang telah dikembangkan itu menggambarkan adanya perbedaan sudut pandang diantara pemerhati masalah kemiskinan. Secara umum teori-teori yang menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan, dapat dibedakan menjadi teori yang berbasis pada pendekatan ekonomi dan teori yang berbasis pada pendekatan sosio -antropotogi, khususnya tentang budaya masyarakat. Teori yang berbasis pada teori ekonomi antara lain melihat kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan kepemilikan faktor produksi, kegagalan kepemilikan, kebijakan yang bias  ke perkotaan. Perbedaan kualitas sumber daya manusia, serta rendahnya pembentukan modal masyarakat atau rendahnya perangsang untuk penanaman modal. Disis lain, pendekatan sosio-antropologis menekankan adanya pengaruh budaya yang cenderung melanggengkan kemiskinan (kemiskinan kultural).
Di sisi lain terdapat pandangan proses pemiskinan sebagai akibat kebijakan yang bias perkotaan. Lipton dan Vyas (1981) mengajukan konsep “urban bias” dalam menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan di negara berkembang. Menurut Lipton dan Vyas : “Small, Interlocking Urban Elites – Comprising Mainly businessmen, politicians, bureaucrats, trade-union leaders and supporting staff of professionals, academics and intelectuals - can in a modern state substantially control the distribution of resources". Bias perkotaan ini dipercaya oleh Lipton, karena menurutnya memang terdapat antagonisme antara penduduk pedesaan dan perkotaan, dimana yang pertama ditandai dengan kemiskinan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pembangunan yang hanya diarahkan ke perkotaan akan mengakibatkan semakin memburuknya kehidupan penduduk miskin di perdesaan. Untuk mengatasi kecenderungan yang negatif seperti itu, Lipton berpendapat bahwa negara sedang berkembang seharusnya mengarahkan kegiatan investasinya ke sumberdaya utama yang mereka miliki - yakni pertanian yang padat karya (labour intensive).
Dalam rangka dukungannya untuk mengurangi bias perkotaan, Lipton dan Vyas berpendapat bahwa sektor perdesaan adalah "pengguna investasi terbatas" yang tebih responsif dari pada sector perkotaan. Sejauh ini gagasan Lipton tersebut telah mendapat banyak kritik namun juga dukungan di kalangan pemerhati masalah ekonomi pembangunan. Sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan industrialisasi selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel. Pengalam-an empiris dari negara-negara industri maju tetah membuktikan kebenaran dari tesis tersebut. Pertambahan penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju urbanisasi dan industrialisasi ini pada gilirannya telah
mengakibatkan pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan sangat kuatnya. 1 Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini dihadapi oleh banyak kota-kota besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, atauBandung Lahan (topos) akhirnya merupakan sumber daya utama kota yang sangat kritikat, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan ketuar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar
dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kota yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitatitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (revitalisasi) yang pada awatnya pernah ada, namun telah memudar. Hat terakhir inilah yang disebut revitalisasi.
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,015 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
Pada bulan Maret 2006, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 74,99 persen. Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, gula pasir, minyak kelapa, telur dan mie instant. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan. Khusus untuk daerah perkotaan, biaya listrik, angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).

Terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin selama periode Februari 2005­Maret 2006. Sekitar 56,51 persen penduduk miskin pada bulan Februari 2005 tetap tergotong sebagai penduduk miskin pada Maret 2006, sisanya berpindah posisi menjadi tidak miskin. Sebaliknya, 30,29 persen penduduk hamper miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82 persen penduduk hampir tidak miskin di bulan Februari 2005 juga jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Bahkan 2,29 persen penduduk tidak miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret 2006. Perpindahan posisi penduduk ini menunjukkan jumlah kemiskinan sementara (transient poverty) cukup besar.

Related Posts

There is no other posts in this category.