SOSIOLOGI PEMBANGUNAN "Data
Kemiskinan"
Dalam
negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan.
Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang
berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya
investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan,
kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus
urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat
memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Kemiskinan,
menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup,
safety life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk
memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak
sepadan dengan biaya tenaga yang diketuarkan. Para
buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat
sedikit.
Kemiskinan
menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia .
Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat
rendah, dibandingkan dengan kuatitas manusia di negara-negara lain di dunia.
Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002,
angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Angka
indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar
66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9.
persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara (Kompas, 2004).
persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara (Kompas, 2004).
Kemiskinan
telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang tayak bagi
kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat
untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoteh akses atas
kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat
untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (b) Hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh
keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat
menjatankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk
berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Pendekatan
kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of
capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan
disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti
tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi
pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid
standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas
sosialnya. Pendekatan
kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).
kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).
Dan pendekatan-pendekatan
tersebut, indikator utama kemiskinan
dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak
layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya
kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup;
.(5) kerentanan dan keterpurukz.n dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan
atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuai yang terbatas;
(8) dan sebagainya.
Kenyataan
menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana,
karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material,
tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain.
Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain
itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan
adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya
ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan
pembangunan yang biasa
perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator
utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang
terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang
biasa kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber
daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang
jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang
berlebihan.
Selama
tiga dekade, upaya penanggutangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan
kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan
kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem
kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan
sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan
tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat
tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu,
tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan rendahnya
akseptabilitas dan inisiatif
masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri.
masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri.
Pendek
kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena
sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan
anatisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan
strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.
Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari
variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan
yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya,
pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan,
rendahnya mutu
kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat - alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator – indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.
kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat - alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator – indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.
Kemisiknan Desa
Desa
hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada tahun 1998 dari
49,5 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60%-nya (29,7
juta jiwa) tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1999, prosentase angka
kemiskinan mengalami penurunan dari 49,5 juta jiwa menjadi 37,5 juta jiwa.
Prosentase kemiskinan di daerah perkotaan mengalami penurunan, tetapi
prosentase kemiskinan di daerah pedesaan justru mengalami peningkatan dari 60%
tahun 1998 menjadi 67% tahun 1999 sebesar 25,1 juta jiwa, sementara di daerah
perkotaan hanya mencapai 12,4 juta jiwa (Data BAPPENAS, 2004). Data tersebut
diperkuat taporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih dari 60%
penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Dengan demikian, desa
ingga
sekarang tetap menjadi kantong terbesar dari pusat kemiskinan. Tabel berikut menggambarkan prosentase perubahan dan jumlah penduduk miskin antarakota dengan desa dari tahun 1976 sampai
dengan tahun 1999.
sekarang tetap menjadi kantong terbesar dari pusat kemiskinan. Tabel berikut menggambarkan prosentase perubahan dan jumlah penduduk miskin antara
Tabel
Prosentase
dan perkembangan jumlah penduduk miskin desa dan kota 1976-1999
Tahun
|
Desa
|
I
|
||
|
Penduduk
miskin (juta jiwa)
|
(%)
|
Penduduk
miskin (juta
jiwa)
|
(%)
|
1976
|
44,2
|
40,4
|
10,0
|
38,8
|
1978
|
38,9
|
33,4
|
8,3
|
30,8
|
1980
|
32,8
|
28,4
|
9,5
|
29,0
|
1981
|
31,3
|
26,5
|
9,3
|
28,1
|
1984
|
25,7
|
21,2
|
9,3
|
23,1
|
1987
|
20,3
|
16,4
|
9,7
|
20,1
|
1990
|
17,8
|
14,3
|
9,4
|
16,8
|
1993
|
17,2
|
13,8
|
8,7
|
13,4
|
1996
|
15,3
|
12,3
|
7,2
|
9,7
|
1998
|
31,9
|
25,7
|
17,6
|
21,9
|
1999
|
25,1
|
20,2
|
12,4
|
15,1
|
Sumber;
Badan Pusat Statistik, Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi
Sosial Ekonomi1996-1999.
Hasil
pendataan BPS menunjukkan perkembangan garis kemiskinan dan jumlah penduduk
miskin. Tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 44,2 juta jiwa dan sampai
dengan tahun 1999 menjadi 25,1 juta jiwa. Sejak krisis ekonomi 1998, jumlah
kemiskinan di daerah pedesaan mengalami peningkatan dengan tingkat kedalamannya
mencapai 5,005 tahun 1998 dari 3,529 pada tahun 1996 dan di tahun 1999 menjadi
3,876 Indeks keparahan kemiskinan paling tinggi terjadi di desa.
Menurut
BPS, kantong penyebab kemiskinan desa, umumnya bersumber dari sektor pertanian
yang disebabkan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian. Kepemilikan lahan pertanian
sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3,8% dari 18,3 juta ha. Di sisi
lain, kesenjangan di sektor pertanian juga disebabkan ketidakmerataan
investasi. Alokasi anggaran kredit yang terbatas juga menjadi penyebab daya
injeksi sektor pertanian di pedesaan melempem. Tahun 1985 alokasi kredit untuk
sektor pertanian mencapai 8% dari seluruh kredit perbankan, dan hanya naik 2%
di tahun 2000 menjadi 19%.
Tingkat
pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mempengaruhi indeks kemiskinan
di daerah pedesaan. Data yang disajikan BPS mempertihatkan bahwa 72,01% dari
rumahtangga miskin di pedesaan dipimpin kepala rumahtangga yang tidak tamat SD,
dan 24,32% dipimpin kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Ciri rumahtangga
miskin yang erat kaitanya dengan tingkat pendidikan adalah sumber penghasilan.
Pada tahun 1996, penghasilan utama dari 63,0% rumah tangga miskin bersumber
dari pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa
termasuk perdagangan. Dari sekitar 66.000 jumlah desa di Indonesia, tahun 1994
jumlah desa tertinggal mencapai 22.094 desa dan yang berada di daerah pedesaan
sekitar 20.951 desa. Pada tahun 1999 jumlah desa tertinggal mencapai 16.566
dari sekitar 66.000 desa yang ada.
Data
berikut menggambarkan bagaimana kemiskinan mempengaruhi tingkat pendidikan
masyarakat pedesaan. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15
tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun ke
atas yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2 persen. Angka buta
aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 10,12 persen. Pada saat
yang sama Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun sudah
mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0
persen, dan APS penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 50,97 persen. Tantangan
tersebut menjadi semakin berat dengan adanya disparitas tingkat pendidikan
antarkelompok masyarakat yang masih cukup tinggi
seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah (Bappenas, 2004).
seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah (Bappenas, 2004).
Data-data
mengenai penyebab kemiskinan desa seperti itu, bisa dikatakan sudah sangat
lengkap dan bahkan memudahkan kita merumuskan indikator kemiskinan desa dan
strategi penanggulanganya. Berdasarkan data di atas, penyebab utama kemiskinan
desa adalah; (1) pengaruh faktor pendidikan yang rendah: (2) ketimpangan
kepemilikan lahan dan modal pertanian; (3) ketidakmerataan investasi di sektor
pertanian; (4) alokasi anggaran kredit yang terbatas; (4) terbatasnya
ketersediaan bahan kebutuhan dasar; (5) kebijakan pembangunan perkotaan
(mendorong orang desa ke kota); (b) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan
cara tradisionat; (7) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal; (8) budaya
menabung yang belum berkembang di kalangan masyarakat desa; (9) tata
pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang di
daerah pedesaan; (10) tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup dan
untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat desa; (11) rendahnya jaminan
kesehatan.
Masyarakat
desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini terpenuhi
seperti; (1) kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2) memiliki lahan dan
modal pertanian yang terbatas; (3) tidak adanya kesempatan menikmati investasi
di sektor pertanian; (4) kurangnya kesempatan memperoleh kredit usaha; (4)
tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar (pangan, papan, perumahan); (5)
berurbanisasi ke kota; (b) menggunakan cara-cara pertanian tradisional; (7)
kurangnya produktivitas usaha; (8) tidak adanya tabungan; (9) kesehatan yang
kurang terjamin; (10) tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial; (11)
terjadinya korupsi, kotusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa; (12) tidak
memiliki akses untuk memperoleh air bersih; (13) tidak adanya partisipasi dalam
pengambilan keputusan publik.
Review Kebijakan Dan Program
Selama
ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan, didesain secara sentralistik oleh
pemerintah pusat yang diwakili BAPPENAS. BAPPENAS merancang program
penangulangan kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan utang kepada Bank Dunia serta
lembaga keuangan mmultinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran yang memadai,
pemerintah pusat menjalankan kebijakan sentratistik dengan program-program yang
bersifat karitatif. Sejak tahun 1970-an di bawah kebijakan economic growth
sampai dengan sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari
seturuh proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan.
Berdasarkan
kebijakan tersebut, pemerintah pusat menjalankan program -programnya dalam
bentuk: (1) menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis
kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan
prasarana di desa seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya; (2)
mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin melalui distribusi
sembako yang dibagikan secara gratis kepada penduduk miskin; (3) mengusahakan
pelayanan kesehatan yang memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke
desa dan pengadaan obat-obatan melalui PUSKESMAS; (4) mengusahakan penyediaan
fasilitas pendidikan dasar
dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; (5) menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin; (b) memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; (7) mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; (8) menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya; dan sebagainya.
dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; (5) menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin; (b) memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; (7) mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; (8) menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya; dan sebagainya.
Berbagai
program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut, lebih banyak menuai kegagalan
dibandingkan dengan keberhasilannya. Program Kredit Usaha Tani (KUT) misalnya,
merupakan salah satu di antara serangkaian program pemerintah yang terbaru, yang
menuai kegagatan. Program ini menempatkan Bank, Koprasi, LSM dan kelompok tani
hanya sebagai mesin penyalur kredit, sedangkan tanggungjawab kredit terletak di
tangan Departemen Koprasi. Pada tahun 1998, ptatfon KUT mencapai 8,4 triliun
rupiah naik 13 kali lipat dari sebelumnya. Para
petani menyebut program ini sebagai "kesalahan bertingkat enam"
karena; (1) petaksanaan KUT tidak benar-benar memberdayakan petani; (2) mesin
penyalur KUT (LSM, Bank, Koprasi), ditunjuk tidak diseleksi secara ketat;
(3) Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dibuat secara serampangan, banyak fiktifnya; (4) kredit diberikan kepada siapa saja termasuk nonpetani, sehingga kurang tepat sasaran; (5) tidak ada pengawasan datam penyaluran, penerimaan dan penggunaan kredit; (b) dana penyaturan banyak bocornya, mulai dari Departemen Koprasi, hingga ke KUD. Akibatnya per September 2000, tunggakan KUT mencapai 6,169 triliun rupiah atau 73,69% dari realisasi kredit.
(3) Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dibuat secara serampangan, banyak fiktifnya; (4) kredit diberikan kepada siapa saja termasuk nonpetani, sehingga kurang tepat sasaran; (5) tidak ada pengawasan datam penyaluran, penerimaan dan penggunaan kredit; (b) dana penyaturan banyak bocornya, mulai dari Departemen Koprasi, hingga ke KUD. Akibatnya per September 2000, tunggakan KUT mencapai 6,169 triliun rupiah atau 73,69% dari realisasi kredit.
Sejak
tahun 2000, program KUT yang dianggap gagal total diganti pemerintah dengan
program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang pelaksanaannya
diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi
subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai
sukses tahun 2004, tetapi lagi-lagi mengatami kegagatan karena kesulitan bank
menyalurkan kredit kepada petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit.
Dari ptatfun sebesar 2,3 triliun rupiah, sampai Maret 2001 baru terrealisasi
3,85 miliar rupiah atau 1,57%. Akibatnya, terjadi ketangkaan kredit usaha tani
di desa. Di samping program KUT dan KKP juga ada Program Pengembangan Kecamatan
(PPK). Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan,
sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan modal
dan pengadaan infrastruktur. Inti dari program ini adatah perencanaan yang
melibatkan masyarakat, laki-laki dan perempuan, termasuk masyarakat miskin.
Program ini dirancang melalui mekanisme musyawarah mulai dari tingkat dusun
hingga ke tingkat kecamatan. Pelaksanaan program didampingi oleh seorang
fasilitator kecamatan, dua orang fasilitator desa, satu laki-laki, satu
perempuan di tiap desa, juga dibantu lembaga pengelola yaitu Unit Pengelola
Keuangan (UPK) di kecamatan yang melibatkan LMD. Program ini di beberapa daerah
mengalami kegagalan, karena tidak adanya perencanaan yang matang dan juga kiranya
transparansi penggunaan dan alokasi anggaran kepada masyarakat desa.
Kisah
kegagalan program yang dirancang dan didanai oleh pemerintah dan Bank Dunia,
juga terjadi dalam Program Padat Karya Desa-Pengembangan Wilayah Terpadu
(PKD-PWT) di NTT , Sulawesi Selatan, NTB dan Sulawesi Utara serta program
PDMDEK di Jawa Barat. Program PKD-PWT membagikan uang bantuan sebesar 50 juta
rupiah kepada setiap desa dan langsung disalurkan ke rekening Tim Pelaksana
Desa (TPD). Jumlah desa yang dibantu dengan program ini mencapai 1.957 desa.
Program ini mengalami kegagalan, karena proses perencanaan, pelaksanaan dan
penyaluran bantuan kepada desa, sangat tergantung kepada TPD. Sementara PDMDEK
di Jawa Barat, mengalami kegagalan karena dana bergulir yang diberikan kepada
masing-masing desa sebanyak 14 juta rupiah per desa, digunakan masyarakat untuk
tujuan konsumtif.
Masalah
kemiskinan di Indonesia
saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk ditangani. Khususnya di witayah
perkotaan, salah satu ciri umum dari kondisi fisik masyarakat miskin adalah
tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai,
dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar ketayakan,
dan mata pencahanan yang. tidak menentu. Disadari bahwa kemiskinan adalah
persoalan struktural dan multi dimensional, yang mencakup politik, sosial,
ekonomi, aset, dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi
kemiskinan muncul dalam berbagai bentuknya, seperti antara lain :
Ø Dimensi politik,
sering muncut dalam bentuk tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu
memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka
benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang
menyangkut diri mereka. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki akses yang
memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan
hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi;
Ø Dimensi sosial
sering muncul dalam bentuk tidak terintegrasikannya warga miskin ke datam
institusi sosial yang ada,terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak
kualitas manusia serta etos kerja mereka, dan pudarnya kapitat sosial;
Ø Dimensi Lingkungan
sering muncul dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang yang tidak
berorientasi pada pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung memutuskan dan
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan
lingkungan serta permukiman;
Ø Dimensi ekonomi
muncul dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak; dan
Ø Dimensi aset ini
ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang
mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumber daya manusia (human
capita), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan dan permukiman, dan
sebagainya.
Karakteristik
kemiskinan seperti tersebut di atas dan krisis ekonomi yang terjadi telah
menyadarkan semua pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam
penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah pengokohan
kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam
rangka membangun organisasi masyarakat warga yang benar-benar mampu menjadi
wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan
aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan permukiman.
aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan permukiman.
Model
tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk penyelesaian persoalan
kemiskinan yang bersifat multi dimensional dan struktural, khususnya yang
terkait dengan dimensi-dimensi politik, sosial, dan ekonpmi, serta dalam jangka
panjang mampu menyediakan aset yang tebih baik bagi masyarakat miskin dalam
meningkatkan pendapatannya, meningkatkan kualitas perumahan dan permukiman
meraka maupun menyuarakan aspirasinya dalam proses pengambilan keputusan. Untuk
mewujudkan hal-hal tersebut, maka dilakukan proses pemberdayaan masyarakat,
yakni dengan kegiatan pendampingan intensif di tiap kelurahan sasaran.
Penguatan
kelembagaan masyarakat yang dimaksud terutama juga dititikberatkan pada upaya
penguatan perannya sebagai motor penggerak dalam `melembagakan' dan
'membudayakan kembali nilai-nilai kemanusiaan serta kemasyarakatan (nilai-nilai
dan prinsip-prinsip di P2KP), sebagai nilainilai utama yang melandasi
aktivitas penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat setempat. Melalui
kelembagaan masyarakat tersebut diharapkan tidak ada lagi kelompok masyarakat
yang masih terjebak pada lingkaran kemiskinan, yang pada gilirannya antara lain
diharapkan juga dapat tercipta lingkungan kota
dengan perumahan yang lebih layak huni di dalam permukiman yang tebih
responsif,
dan dengan sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
dan dengan sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Proyek Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) merupakan proyek pemerintah yang secara substansi berupaya
dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat don
pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah don kelompok
peduli setempat, sehingga dapat terbangun "gerakan kemandirian
penanggulangan kemiskinan don pembongunan berkelanjutan", yang bertumpu
pada nilai-nilai luhur don prinsip-prinsip universal. [Dikutip dari : Buku
Pedoman Umum P2KP, Edisi Revisi September 2004]
kepada kelembagaan
masyarakat tersebut yang dibangun oleh dan untuk masyarakat, selanjutnya dipercaya
mengelola dana abadi P2KP secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Dana
tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membiayai kegiatan-kegiatan
penanggulangan kemiskinan, yang diputuskan oleh masyarakat sendiri melalui
rembug warga, baik dalam bentuk pinjaman bergulir maupun dana waqaf bagi
stimulan atas keswadayaan masyarakat untuk kegiatan yang bermanfaat langsung
bagi masyarakat, misatnya perbaikan prasarana serta sarana dasar perumahan dan
permukiman.
Melalui
pendekatan kelembagaan masyarakat dan penyediaan dana bantuan langsung ke
masyarakat kelurahan sasaran, P2KP cukup mampu mendorong dan memperkuat
partisipasi serta kepedulian masyarakat setempat secara terorganisasi dalam penanggulangan
kemiskinan. Artinya, Program penanggulangan kemiskinan berpotensial sebagai
"gerakan masyarakat", yakni; dari, oleh dan untuk masyarakat.
TIGA
KECENDERUNGAN
Berdasarkan
studi terhadap 160 negara, Estes (1998) mengklasifikasikan potret pembangunan
sosial kedalam tiga kategori: Negara Maju (World Social Development Leaders),
Negara Berkembang Menengah (Middle Performing Countries), dan Negara Berkembang
Terbetakang (Socially Least Developing Countries).
KARAKTERISTIK
kEMBANGUNAN SOSIAL
Terdapat
33 negara yang masuk kategori Negara Maju. Sebanyak 26 negara berada di kawasan
Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Inggris,dst.) dan 6 diantaranya masuk bagian
Eropa Timur dan Tengah (Bulgaria, Hongaria, Polandia, Slovenia, Republik Slovak
dan Czechnya). Dua negara, Estonia
dan Ukraina, merupakan negara yang baru merdeka dari bekas Uni Sovyet.
Mayoritas negara-negara ini memiliki sejarah demokrasi yang kukuh dan sistem
ekonomi terbuka. Kondisi ekonominya sangat baik dan stabil. Rata-rata GDP mencapai
$18.700 dengan inflasi yang relatif rendah (3,1%). Tingkat tabungan dan
investasi tinggi, sedangkan utang luar negerinya sangat rendah.
Sebagian
besar Negara Maju adalah negara kecil dengan penduduk kurang dari 25 juta
dengan tingkat pertumbuhan penduduk 0,4% per tahun. Tingkat kematian bayi di
negara-negara ini sangat rendah, hanya 8 orang per 1000 kelahiran hidup.
Sedangkan usia harapan hidup mencapai 79 tahun dengan ketergantungan anak hanya
20%. Sebagian besar penduduknya (98%) dapat membaca dan melanjutkan pendidikan
tinggi. Satu faktor utama yang menyebabkan majunya pembangunan sosial di negara
– negara ini adalah adanya jaminan sosial universal yang melindungi setiap
penduduknya dari resiko kehilangan pendapatan, seperti kecelakaan kerja, sakit,
cacat, masa tua, hamil, dan pengangguran. Sebesar 46% dari GNP-Nya dikeluarkan
untuk membiayai berbagai pelayanan sosial dan kesehatan (OECD, 1996).
Negara-negara
yang masuk kategori Negara Berkembang Menengah menyebar diseluruh wilayah
geografis: Asia (36 negara), Amerika Latin
(22), Afrika (10), dan Oceania (1). Sebagian
besar negara-negara ini telah memiliki apa yang disebut "social
ingredients" yang diperlukan untuk mencapai kondisi sosial dan ekonomi
maju, seperti stabititas politik, dinamika ekonomi, akses ke sumber daya atam
(khususnya energi), kualitas kesehatan, pendidikan dan sistem jaminan sosial.
GNP per kapita di Negara Berkembang Menengah juga retatif tinggi, sekitar
US$4910 dengan pertumbuhan 2,3% per tahun dan laju inflasi 7% per tahun.
Tingkat pengangguran relatif rendah, sekitar 13,1% dari jumlah angkatan kerja.
Namun demikian, beberapa negara masih memitiki kondisi sosial ekonomi yang
rentan, seperti pemerintahan korup, jumlah dan pertumbuhan penduduk tinggi,
tingginya pengangguran dan meluasnya kemiskinan.
Negara
yang termasuk kategori Negara Berkembang Terbelakang berjumlah 38. Sebagian
besar berada di Afrika (29 negara), 7 negara di Asia ,1
negara di Amerika, dan 1 negara di Pasifik Selatan. 7erbelakangnya pembangunan
sosial di negara ini terlihat dari rendahnya kualitas hidup, seperti rendahnya
usia harapan hidup (51 tahun), tingginya kematian bayi (11011000) dan anak
(17711000). Tingginya kematian bayi dan anak merupakan yang tertinggi di dunia
yang diakibatkan oleh infeksi dan penyakit menular.
Dua
masalah serius yang menyebabkan rendahnya pembangunan sosial di negara-negara
berkembang dan terbelakang adalah tekanan penduduk dan kemiskinan. Tingkat
pertumbuhan penduduk dunia tahun 1995 mencapai 1,7%. Dengan tingkat pertumbuhan
itu, jumlah penduduk dunia akan mencapai 6,1 miliar di tahun 2000, 7 miliar di
tahun 2010, dan 8,2 mitiar pada tahun 2025. Ironisnya, 80% dari pertumbuhan
penduduk dunia sejak tahun 1960 terkonsentrasi di Asia, Afrika dan Amerika
Latin, dan 95% dari peningkatan ini terkonsentrasi di negara-negara miskin di
wilayah tersebut.
Jumlah
dan pertumbuhan penduduk di Negara Berkembang Terbelakang sangat tinggi,
terutama disebabkan oleh rendahnya penggunaan alat KB dan tingginya migrasi
internal. Yang penting dicatat, migrasi penduduk di negara-negara ini tidak
hanya dipengaruhi oleh motive ekonomi, melainkan juga oleh perang, konflik
sipil dan ketidakstabilan politik. Konsekuensi sosial dari tingginya migrasi
ini adalah (a) penelantaran anak, lanjut usia, dan kelompok tidak produktif di
daerah pedesaan, (b) melemahnya, atau bahkan hitangnya, nilai-nilai tradisional
dan keeratan keluarga, (c) memudarnya budaya dan praktek pertanian, (d)
meluasnya kemiskinan, kekurangan gizi, dan kematian dini bagi orang yang tidak
dapat bertahan hidup di kota besar yang padat potusi dan penduduk. Hingga had
ini, belum ada satu negarapun yang mampu mengatasi problema migrasi ini dengan
efektif.
Kata-rata
GDP di negara-negara berkembang terbelakang ini sekitar US$950. Pertumbuhan
ekonominya juga sangat rendah, hanya sekitar 3% dengan inflasi tinggi, mencapai
37%. Sarana komunikasi dan transportasi sangat terbatas, serta daya saing di
pasar internasional juga sangat terbatas. Tabungan pemerintah dan sektor swasta
sangat rendah, sementara utang luar negerinya sangat tinggi. Pemerintahan di
sebagian besar negara ini sangat sentralistik. Roda ekonomi sangat tergantung
pada gabungan antara pinjaman luar negeri, bantuan negara donor, dan investasi
swasta dari luar negeri. Tingkat pengangguran di Negara Berkembang Terbelakang
juga sangat tinggi. Meski
secara resmi tercatat 20%, kenyataannya bisa lebih dari itu. Pengangguran terutama dialami oleh wanita, laki-laki berusia tebih ari 45 tahun, para penyandang cacat dan buta hurup.
secara resmi tercatat 20%, kenyataannya bisa lebih dari itu. Pengangguran terutama dialami oleh wanita, laki-laki berusia tebih ari 45 tahun, para penyandang cacat dan buta hurup.
Pengeluaran
negara untuk program sosial sangat minimal. Sebagian besar negara bahkan tidak
menyediakan asuransi dan jaminan sosial untuk pengangguran, sakit, hamil,
kematian, dan cacat. Ironisnya pengeluaran negara untuk Hankam di Negara –
negara ini mencapai 4,6% dari GNP-Nya yang berarti 50% lebih tinggi dari pada
di Negara Berkembang Menengah.
Kecenderungan
Menurut
studi ini, ada tiga kecenderungan yang perlu di catat. Pertama, negara-negara
yang masuk kategori Negara Maju berpusat di tiga wilayah, yaitu
Australia-Selandia Baru dengan skor ISP rata-rata sebesar 84,5, Eropa (82,8)
dan Amerika Utara (80,4). Ironisnya, negara-negara ini juga mengalami penurunan
ISP cukup drastis dalam periode 1990-95. Amerika Utara mengalami penurunan
sebesar 14%, Eropa 9%, dan Australia
-Selandia Baru 9%. Penurunan ini disebabkan oleh kesulitan ekonomi yang melanda
wilayah tersebut yang memuncak di tahun 1990 dan berdampak terus hingga 1995.
Kedua,
secara individu kategori Negara Maju didominasi oleh negara yang menerapkan
sistem Negara Kesejahteraan (welfare state). Denmark meduduki peringkat 1 dengan
skor ISP mencapai 98,4, diikuti oleh Norwegia (95,6), Austria (93,2),
Swedia (93,1), dan Finlandia (90,8). Di negara-negara ini 40% dari anggaran
belanja negaranya dikeluarkan untuk pembangunan sosial.
Ketiga,
mayoritas negara-negara yang berkategori Negara Berkembang Menengah terletak di
kawasan Amerika Latin dengan skor ISP rata-rata 53,1 dan Asia
(41,2). Sedangkan kategori Negara Berkembang Terbetakang terkonsentrasi di
wilayah Afrika (20,1). Pengetuaran negara untuk pembangunan sosial di
negara-negara ini tidak lebih dari 10%, dan umumnya lebih kecil daripada
anggaran untuk Hankam.
Penyebab kegagalan
Pada
dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggutangan kemiskinan diIndonesia .
Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung
berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu,
antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman
sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan
persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan,
bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
penanggutangan kemiskinan di
Program-program
bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat
memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang
miskin seharusnya tebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif
dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak,
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbutkan korupsi dalam
penyalurannya.
Alangkah
lebih baik apabita dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor
kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan
adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu
sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada
isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana
diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan
kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi
Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga
prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua
data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang
sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada Ind ikator dampak. Pada
kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan
tingkat keseragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang
mencakup banyak wilayah yang sanga berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi
sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa
saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan
lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah
kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba
Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan
beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda
antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu
pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah
27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I)
yang dihasitkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini
cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang
digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara
alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara
konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan
dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat
digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin
antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya
bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis,
tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau
keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data
mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara
agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk
data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data
keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga
prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang
dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu,
indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan,
juga masih bersifat sentralistik dan seragamtidak dikembangkan dari kondisi
akar rumput dan belum tentu mewakiti keutuhan sistem sosial yang
spesifik-lokal.
RINGKASAN
Beraneka
ragam teori telah berupaya mencari penjelasan mengapa terjadi proses
pemiskinan. Secara garis besar, kemiskinan dapat dibagi ke dalam dua kategori,
yaitu kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiah (Nasution, 1996). Kemiskinan
struktural sering disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty). Baik
langsung maupun tidak langsung kemiskinan kategori ini umumnya disebabkan oleh
tatanan kelembagaan yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi tetapi juga
mencakup masalah aturan permainan yang diterapkan. Sedangkan kemiskinan alamiah
lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan
sumberdaya alam. Pada kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam
lemah/terbatas, peluang produksi relatif kecil atau tingkat efisiensi
produksinya relatif rendah.
Beranjak
dari kedua tipe kemiskinan itu, berbagai teori telah dikembangkan dalam upaya
untuk memahami aspek-aspek yang menentukan terjadinya kemiskinan secara lebih
mendalam. Keanekaragaman teori yang telah dikembangkan itu menggambarkan adanya
perbedaan sudut pandang diantara pemerhati masalah kemiskinan. Secara umum
teori-teori yang menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan, dapat dibedakan
menjadi teori yang berbasis pada pendekatan ekonomi dan teori yang berbasis
pada pendekatan sosio -antropotogi, khususnya tentang budaya masyarakat. Teori
yang berbasis pada teori ekonomi antara lain melihat kemiskinan sebagai akibat
dari kesenjangan kepemilikan faktor produksi, kegagalan kepemilikan, kebijakan
yang bias ke perkotaan. Perbedaan
kualitas sumber daya manusia, serta rendahnya pembentukan modal masyarakat atau
rendahnya perangsang untuk penanaman modal. Disis lain, pendekatan sosio-antropologis
menekankan adanya pengaruh budaya yang cenderung melanggengkan kemiskinan
(kemiskinan kultural).
Di sisi
lain terdapat pandangan proses pemiskinan sebagai akibat kebijakan yang bias
perkotaan. Lipton dan Vyas (1981) mengajukan konsep “urban bias” dalam
menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan di negara berkembang. Menurut Lipton dan
Vyas : “Small, Interlocking Urban Elites – Comprising Mainly businessmen,
politicians, bureaucrats, trade-union leaders and supporting staff of
professionals, academics and intelectuals - can in a modern state substantially
control the distribution of resources". Bias perkotaan ini dipercaya oleh
Lipton, karena menurutnya memang terdapat antagonisme antara penduduk pedesaan
dan perkotaan, dimana yang pertama ditandai dengan kemiskinan. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan jika pembangunan yang hanya diarahkan ke perkotaan akan
mengakibatkan semakin memburuknya kehidupan penduduk miskin di perdesaan. Untuk
mengatasi kecenderungan yang negatif seperti itu, Lipton berpendapat bahwa
negara sedang berkembang seharusnya mengarahkan kegiatan investasinya ke
sumberdaya utama yang mereka miliki - yakni pertanian yang padat karya (labour
intensive).
Dalam
rangka dukungannya untuk mengurangi bias perkotaan, Lipton dan Vyas berpendapat
bahwa sektor perdesaan adalah "pengguna investasi terbatas" yang
tebih responsif dari pada sector perkotaan. Sejauh ini gagasan Lipton tersebut
telah mendapat banyak kritik namun juga dukungan di kalangan pemerhati masalah
ekonomi pembangunan. Sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan industrialisasi
selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel. Pengalam-an empiris
dari negara-negara industri maju tetah membuktikan kebenaran dari tesis
tersebut. Pertambahan penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju urbanisasi
dan industrialisasi ini pada gilirannya telah
mengakibatkan pertumbuhankota
yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan sangat kuatnya. 1 Dengan
persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak
terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan
oleh kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini dihadapi oleh banyak
kota-kota besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di Indonesia, seperti
Jakarta, Surabaya, atauBandung Lahan (topos) akhirnya merupakan sumber daya
utama kota yang sangat kritikat, disamping pengadaannya yang semakin sangat
terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan
ketuar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan
daya tampung lahan yang ada agar
dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidupkota yang lebih baik.
Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan
vitatitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan
kembali vitalitas (revitalisasi) yang pada awatnya pernah ada, namun telah
memudar. Hat terakhir inilah yang disebut revitalisasi.
mengakibatkan pertumbuhan
dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup
Jumlah
penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada
bulan Maret 2006 sebesar 39,015 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan
penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen),
berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Persentase penduduk
miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan
Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah
perdesaan. Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar
dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan,
dan kesehatan).
Pada
bulan Maret 2006, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan
sebesar 74,99 persen. Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai
Garis Kemiskinan adalah beras, gula pasir, minyak kelapa, telur dan mie
instant. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan. Khusus untuk
daerah perkotaan, biaya listrik, angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh
yang cukup besar, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang
dari 2 persen).
Terjadi
pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin selama periode Februari
2005Maret 2006. Sekitar 56,51 persen penduduk miskin pada bulan Februari 2005
tetap tergotong sebagai penduduk miskin pada Maret 2006, sisanya berpindah
posisi menjadi tidak miskin. Sebaliknya, 30,29 persen penduduk hamper miskin di
bulan Februari 2005 jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang
sama, 11,82 persen penduduk hampir tidak miskin di bulan Februari 2005 juga
jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Bahkan 2,29 persen penduduk tidak
miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret 2006. Perpindahan posisi
penduduk ini menunjukkan jumlah kemiskinan sementara (transient poverty) cukup
besar.